1. Aqidah Secara Etimologi
> Aqidah berasal dari kata ‘aqd yang berarti pengikatan. Aqidah adalah apa yang diyakini oleh seseorang. Aqidah merupakan perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pembenaran terhadap sesuatu.
> Aqidah berasal dari kata “aqada” artinya ikatan dua utas tali dalam satu buhul sehingga bersambung. Aqad berarti pula janji, ikatan (kesepakatan) antara dua orang yang mengadakan perjanjian.
> ‘Aqidah menurut bahasa Arab (etimologi) berasal dari kata al-‘aqdu yang berarti ikatan, at-tautsiiqu yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah yang berarti mengikat dengan kuat. 2. Aqidah secara terminologi
> Menurut Abu Bakar Jabir al Jazairy Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum (aksioma) oleh manusia berdasarakan akal, wahyu dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan oleh manusia di dalam hati serta diyakini kesahihan dan keberadaannya secara pasti dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu.
> Imam Syahid Hasan Al Bana mendefinisikan aqidah sebagai : hal-hal yang harus dibenarkan oleh hati, tenang bagi jiwa dan keyakinan yang tidak dapat digoyahkan oleh keraguan atau bercampur dengan kebimbangan. Pada kenyataannya kuat atau lemahnya aqidah umat ini bermacam-macam ragamnya sesuai dengan kekuatan dalil/bukti-bukti yang mereka terima, dan yang mereka yakini.
> Aqidah menurut terminology adalah sesuatu yang mengharuskan hati membenarkannya, membuat jiwa tenang, dan menjadi keprcayaan yang bersih dari kebimbangan dan keraguan.
> Aqidah adalah tauqifiyah. Artinya, tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil syar’i, tidak ada medan ijtihad dan berpendapat di dalamnya. Karena itulah sumber-sumbernya terbatas kepada apa yang ada di dalam al-Quran dan as-Sunnah.
3. Aqidah Secara Syara’
> Yaitu beriman kepada Allah, para MalaikatNya, kitab-kitabNya, para Rasulnya, dan kepada hari Akhir serta kepada qadar baik yang baik maupun yang buruk (rukun iman). Dalilnya adalah
“ Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa”. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”. (Q.S. Al Kahfi: 110).
“ Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”. (Q.S. Az Zumar: 65)
Dan juga QS. Az Zumar: 2-3, QS. An Nahl: 36, QS. Al A’raf: 59,65,73, 85
B. RUANG LINGKUP AQIDAH
C. PENYIMPANGAN AQIDAH DAN CARA-CARA PENANGGULANGAN
D. FUNGSI DAN PERANAN AQIDAH
E. TINGKATAN AQIDAH
1. Keesaan Allah
Manusia dapat saja mempercayai bahwa ada Tuhan yang menciptakan alam ini, tetapi hal itu berdasarkan pikirannya. Manusia tidak akan dapat mengetahui siapa dan bagaimana Tuhan itu. Karena itu, dalam aqidah Islam, Tuhan memperkenalkan diri-Nya dan memberitahukan sifat-sifat-Nya kepada manusia melalui firman-Nya yang disampaikan kepada utusan-Nya. Karena itu, Tuhan dalam Islam adalah Tuhan menurut Tuhan sendiri yang tidak mungkin salah.
2. Malaikat dan Makhluk Lainnya
Allah menciptakan malaikat, yaitu makhluk gaib yang melaksanakan tugas-tugas yang diberikan Allah. Ia diciptakan Allah dari cahaya.
Seorang muslim wajib mengimani adanya malaikat sebagai makhluk Allah di samping manusia, jin, dan iblis. Karena itu, iman kepada malaikat melahirkan sikap hati-hati, optimis, dan dinamis, tidak mudah putus asa atau kecewa . demikian pula apabila orang meyakini adanya iblis atau setan, maka ia akan senantiasa waspada untuk tidak terjerat kepada godaan yang dapat menyesatkannya.
3. Al Qur’an dan Kitab Suci Lainnya
Allah menurunkan wahyu-Nya kepada manusia melalui Rasulnya yang tertulis dalam kitab-kitab-Nya. Kitab-kitab Allah berisi informasi-informasi, aturan-aturan, dan hukum-hukum dari Allah bagi manusia. Kitab-kitab Allah itu menjadi pedoman hidup manusia di dunia agar hidup manusia teratur, tentram serta bahagia.
“(2).Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru.(3).Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya.(4).Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (Q.S. An Najm: 2,3 &4)
“ Sesungguhnya kami menurunkan kepadamu kitab (Al Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya)”. (Q.S. Az Zumar: 2)
4. Rasul
Allah menurunkan wahyu tidak kepada semua orang, tetapi dipilih salah seorang diantaranya sebagai kuputusan-Nya. Rasul adalah manusia yang dipilih Allah dan diberi kuasa untuk menerangkan segala sesuatu yang datang dari Allah. Bukti kerasulannya adalah mukjizat dan kitab Allah yang tidak tertandingi mutunya. Melalui Rasul manusia dapat mengetahui segala sesuatu tentang Allah, seolah-olah manusia berhubungan langsung dengan Allah.
Allah mengutus Rasulnya sejak Nabi Adam hingga Nabi yang terakhir, Muhammad Saw. Beriman kepada para rasul merupakan tuntutan iman kepada Allah.
“ Dan barangsiapa yang menaati Allah dan rasul-(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”. (Q.S. An Nisaa’: 69)
5. Hukum Alam dan Hari Kiamat
Alam ciptaan Tuhan terikat oleh ruang, waktu serta hukum-hukum yang ditetapkan-Nya (sunatullah). Sunatullah yang ditetapkan pada segala ciptaan adalah rusak, hilang, dan berakhir.
Beriman kepada Hari Kiamat adalah meyakini akan kedatangannya. Keimanan itu melahirkan dampak bagi kehidupan seorang muslim, yaitu meyakini bahwa tidak ada yang sia-sia dalam hidup ini, semua perbuatan akan dihitung.
“ Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepadamu kaumnya lalu ia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya”. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).” (Q.S. Al A’raf: 59)
6. Qadha dan Qadar
Takdir berasal dari kata qadara yang berarti mengukur, memberi kadar atau ukuran. Semua makhluk dikenai takdir oleh Allah. Mereka tidak dapat melampaui batas ketetapan itu dan Allah menuntun ke arah yang seharusnya.
Beriman kepada takdir melahirkan sikap optimisme, tidak mudah kecewa dan putus asa sebab yang menimpa setelah segala usaha dilakukan merupakan takdir Allah. Sesuatu yang buruk menurut kita, tidak selalu buruk menurut Allah. Sebaliknya, yang menurut kita itu baik, tidak selalu baik pula menurut Allah. Oleh karena itu, dalam kegiatan takdir ini seyogyanya lahir sikap sabar dan tawakal dengan terus menerus berusaha sesuai dengan kemampuan.
1. Kebodohan terhadap aqidah shahihah, karena tidak mau mempelajari dan mengajarkannya, atau karena kurangnya perhatian terhadapnya.
2. Ta’ashshub (fanatik) kepada sesuatu yang diwarisi dari bapak dan nenek moyangnya, sekalipun hal itu batil, dan mencampakkan apa yang menyalahinya, sekalipun hal itu benar.
“ Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah”, mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”. (Q.S. Al Baqarah: 170)
3. Taqlid Buta Dengan mengambil pendapat manusia dalam masalah aqidah tanpa megetahui dalilnya dan tanpa menyelidiki seberapa jauh kebenarannya.
4. Ghuluw (berlebihan) Dalam mencintai para wali dan orang-orang shalih, serta mengangkat mereka di atas derajat yang semestinya, sehingga menyakini pada diri mereka sesuatu yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah, baik berupa mendatangkan kemanfaatan maupun meolak kemudharatan.
5. Ghaflah (lalai) Terhadap perenungan ayat-ayat Allah yang terhampar di jagat raya ini (ayat-ayat kauniyah) dan ayat-ayat Allah yang tertuang dalam kitab-Nya (ayat-ayat Qura’niyah).
“ Jikalau sekitarnya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. (Q.S. Al A’raaf: 96)
6. Enggannya media pendidikan dan media informasi melaksanakan tugasnya. Kurikulum pendidikan kebanyakan tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap pendidikan agama Islam, bahkan ada yang tidak peduli sama sekali.
Cara-cara penanggulangan penyimpangan aqidah adalah dengan :
1. Kembali pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam untuk mengambil aqidah shahihah.
2. Memberi perhatian pada pengajaran aqidah di berbagai jenjang pendidikan.
3. Harus ditetapkan kitab-kitab salaf yang bersih sebagai materi pelajaran. Sedangkan kitab-kitab kelompok penyeleweng harus dijauhkan.
4. Menyebar para da’i yang meluruskan aqidah umat Islam dengan mengajarkan aqidah salaf serta menjawab dan menolak seluruh aqidah batil.
1. Menuntun dan mengembangkan dasar ketuhanan yang dimiliki manusia sejak lahir
Manusia sejak lahir memiliki potensi keberagamaan (fitrah) sehingga sepanjang hidupnya membutuhkan agama dalam rangka mencari keyakinan terhadap Tuhan. Aqidah Islam berperan memnuhi kebutuhan fitrah manusia tersebut, menuntun, dan mengarahkan manusia pada keyakinan yang benar tentang Tuhan, tidak menduga-duga atau mengira-ngira, melainkan menunjukkan Tuhan yang sebenarnya.
2. Memberikan ketenangan dan ketentraman jiwa
Agama sebagai kebutuhan fitrah akan senantiasa menuntut dan mendorong manusia untuk terus mencarinya. Aqidah memberikan jawaban yang pasti sehingga kebutuhan rohaniahnya dapat terpenuhi. Ia memperoleh ketenangan dan ketentraman jiwa yang diperlukannya.
3. Memberikan pedoman hidup yang pasti
Keyakinan terhadap Tuhan memberikan arahan dan pedoman yang pasti sebab aqidah menunjukkan kebenaran keyakinan yang sesungguhnya. Aqidah memberikan pengetahuan asal dan tujuan hidup manusia sehingga kehidupan manusia akan lebih jelas dan lebih bermakna.
Aqidah Islam sebagai keyakinan akan membentuk perilaku bahkan mempengaruhi kehidupan seorang muslim. Abu A’la Al Maududi menyebutkan pengaruh aqidah tauhid sebagai berikut:
a. Menjauhi manusia dari pandangan yang sempit dan picik
b. Menanamkan kepercayaan terhadap diri sendiri dan tahu harga diri
c. Menumbuhkan sifat rendah hati dan khidmat
d. Membentuk manusia menjadi jujur dan adil
e. Menghilangkan sifat murung dan putus asa dalam menghadapi setiap persoalan dan situasi
f. Membentuk pendirian yang teguh, kesabaran, ketabahan dan optimisme
g. Menanamkan sifat ksatria, semangat dan berani; tidak gentar menghadapi resiko, bahkan tidak takut kepada maut
h. Menciptakan sikap hidup damai dan ridha
i. Membentuk manusia menjadi patuh, taat dan disiplin menjalankan peraturan Illahi.
Aqidah atau iman yang dimiliki seseorang tidak selalu sama dengan oleh orang lain. Ia memiliki tingkatan-tingkatan tertentu bergantung pada upaya orang itu. Iman pada dasarnya berkembang, ia bisa tumbuh subur atau sebaliknya. Iman yang tidak terpelihara akan berkurang, mengecil atau hilng sama sekali.
Tingkatan aqidah tersebut adalah:
b. Taqlid, yaitu tingkat keyakinan yang didasarkan atas pendapat orang yang diikutinya tanpa dipikirkan.
c. Yakin, yaitu keyakinan yang didasarkan atas bukti, dan dalil yang jelas, tetapi belum sampai menemukan hubungan yang kuat antara obyek keyakinan dan dalil yang diperolehnya. Hal ini, memungkinkan orang terkecoh oleh sanggahan-sanggahan atau dalil-dalil lain yang lebih rasional dan lebih mendalam.
d. ‘Ainul Yakin, yaitu tingkat keyakinan yang didasarkan atas dalil-dalil rasional, ilmiah dan mendalam, sehingga mampu membuktikan hubungan antara obyek keyakinan dengan dalil-dalil serta mampu memberikan argumentasi yang rasional terhadap sanggahan-sanggahan yang datang. Ia tidak mungkin terkecoh oleh argumentasi lain yang dihadapkan kepadanya.
e. Haqqul yakin, yaitu tingkat keyakinan yang di samping didasarkan atas dalil-dalil rasional, ilmiah, dan mendalam, dan mampu membuktikan hubungan antara obyek keyakinan dengan dalil-dalil serta mampu menemukan dan merasakan keyakinan tersebut melalui pengalaman agamanya.