· Wajib (mutlak bermanfaat, sehingga harus dilakukan demi kebaikan mukallaf atau subyek hukum); sunnat atau nafilah (lebih mendekati kemaslahatan, sehingga dianjurkan untuk dilakukan demi kebaikan mukallaf); mubah(netral: 50% manfaat dan 50% mafsadat, sehingga mukallaf dipersilahkan memilih yang lebih menguntungkan dirinya); makruh (lebih mendekati bahaya, sehingga mukallaf dianjurkan untuk tidak melakukannya demi kebaikan diri); dan haram (mutlak berbahaya, sehingga mukallaf dilarang melakukannya demi kebaikan dirinya).
Fokus Kajian:
v Arti dan Fungsi SI
v Ruang Lingkup SI: Ibadah dan Mu’amalah
Secara umum, syari'ahdidefinisikan sebagai :
خطاب الشارع المتعلق بأفعال المتكلفين بالإ قتضاء او التخيير او الوضع او المانع
Syari'ah adalah ketentuan Allah yang berkaitan dengan perbuatan subjek hukum berupa melakukan suatu perbuatan, memilih atau menentukan sesuatu (sebagai syarat, sebab atau penghalang).
Sedangkan definisi ibadah sebagaimana dijelaskan oleh al-'Imad Ibn Ka`ir adalah :
هي طاعته بفعل المأمور و ترك المخظور
Ibadah adalah ketaatan kepada Allah SWT dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Di sini lebih terbatas kepada ukuran haram halal.
Definisi lain tentang Ibadah yang lebih luas adalah :
اسم جامع لكل ما يحبه ويرضاه من الأقوال والأعمال الظاهرة والباطنة
Ibadah adalah isim jami’ yang ditujukan kepada segala aktivitas yang disukai dan diridai Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik yang tampak maupun tidak tampak.
Bahkan definisi ibadah bisa lebih simpel, yakni hidup sesuai dengan aturan Al-Qur'an dan Sunnah Rasul.
Adapun tujuan ibadah sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawy, adalah untuk mencapai keridaan Allah SWT. Kalau digabungkan menjadi syari‘ah ibadah, maka maksudnya adalah segala macam aturan, baik wajib, sunat atau haram yang menyangkut tata cara mengabdi kepada Allah dalam rangka mencari keridaan-Nya.
Baik akidah maupun syari‘ah kedua-duanya adalah aturan Allah, bedanya akidah merupakan aturan tentang keyakinan (sistema credo) sedangkan syari‘ah ibadah merupakan aturan tentang tata beramal (sistema ritus). Dari sisi fungsi, akidah sebagai fondasi sedangkan syari'ah adalah bangunannya. Supaya bangun-an syari‘ah ibadah bisa tegak berdiri, maka fondasi akidah harus benar-benar kokoh. Sangat mustahil seseorang mau melaksanakan ibadah dengan sepenuh hati kalau fondasi akidahnya lemah.
Supaya ibadah seorang hamba dapat diterima oleh al-Ma‘bud(Yang disembah), ada salah satu syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu yakni memahami siapa itu al-ma‘bud. Ini artinya seorang hamba harus terlebih dahulu mengenal Allah, baik sebagai Rabb, sebagai Málikmaupun sebagai Iláh.
Selanjutnya, secara garis besar, aktivitas ibadah ini terbagi dua katagori yakni ibadah mahdloh dan ibadah gair mahdloh. Ibadah mahdloh (mihadl = bersih), adalah rangkaian ibadah yang bersih tidak bercampur dengan aturan dari luar. Termasuk ke dalam ibadah mahdloh ini adalah salat, saum, zakat dan haji.
Perbedaan antara ibadah Mahdloh dan ghair mahdloh :
Ibadah Mahdloh | Ibadah Ghair Mahdloh |
1. Asal ibadah mahdoh adalah haram, kecuali kalau ada dalil yang memerintahkan untuk mengerjakannya.
| Asal ibadah ghair mahdoh adalah Halal kecuali kalau ada dalil yang mengharamkannya. |
2. Aturannya khusus, tidak boleh tercampur dengan aturan dari luar. Misalnya mengucapkan alaihis salam ketika mendengar nama nabi . Itu adalah aturan umum tetapi tidak boleh diterapkan dalam shalat. | Pada umurnya tidak diatur dengan detail, yang ditetapkan hanya prinsip-prinsipnya saja misalnya tentang cara berpakaian atau pernikahan. |
3. Tidak berlaku qiyas. Misalnya mengqiyaskan zakat profesi kepada zakat pertanian atau zakat emas. | Qiyas berlaku dalam menetapan hukum. |
4. Bahasa harus asli (bukan terjemahan), misalnya bacaan shalat dan doa-doa haji. | Boleh menggunakan bahasa terjemahan, misalnya doa ketika mau makan. Redaksi bahasa tidak harus persis yang penting essensinya. Misalnya ucapan ijab-qabul dalam akad nikah. |
5. Kadang-kadang sulit dipahami akal misalnya mengapa harus mencium hajar aswad. | Pada umumnya tujuan dan hikmah ibadah ghair mahdoh mudah dipahami akal. |
6. Akal tidak boleh ikut campur. Tidak ada kreativitas akal. Kreasi baru dalam ibadah mahdloh dianggap bid’ah. | Akal boleh ikut campur dalam pengembangan ibadah ghair mahdoh, karena setiap zaman memerlukan tata cara yang sesuai dengan zamannya. Misalnya cara ijab-qabul dalam jual beli di zaman dahulu dengan di zaman modern, yang penting adalah substansinya. |
7. Jumlahnya sedikit. | Jumlahnya sangat banyak. |
“Tidak sekali-kali Kami ciptakan jin dan manusia
kecuali agar mereka senantiasa beribadah kepada-Ku”.
Ayat sering dikutip oleh berbagai kalangan untuk menyatakan bahwa kewajiban manusia di muka bumi ini adalah beribadah kepada Allah SWT. Ibadah secara literal berarti melayani, menerima, tunduk dan patuh. Artinya, ibadah adalah kepatuhan dan ketundukan terhadap perintah-perintah Allah SWT. Dalam Fiqh Islam, ibadah terbagi menjadi dua; ada ibadah mahdhah [ritualits transendental] dan ada ibadah ghair mahdhah [ritualitas sosial]. Kedua ibadah ini sama pentingnya dalam Islam. Yang satu menyempurnakan yang lain. Ke-Islam-an seseorang sama sekali tiada arti tanpa pengamalan kedua ritualitas tersebut.
Ibadah mahdhah merupakan implementasi dari keyakinan seorang makhluk yang penuh dengan kenisbian terhadap Realitas Yang Mutlak [Tuhan Yang Maha Esa]. Ibadah ini ini meniscayakan adanya legitimasi langsung dari teks-teks agama [nushush diniyyah], atau pengalaman dan pengamalan orang-orang masa lalu [salaf shaleh]. Dengan sifatnya yang demikian, setiap orang atau setiap kelompok dalam pengamalan ritualitas ini akan selalu mencari keterkaitan dengan masa lalu sedekat mungkin. Seruan-seruan seperti kembali kepada Qur’an dan Sunnah, pembersihan akidah, keteladanan Nabi dan seruan yang lain adalah merupakan upaya pencarian keterkaitan tersebut. Sayangnya, pencarian ini memunculkan klaim-klaim kebenaran tunggal.
Gesekan-gesekan yang terjadi antar kelompok dalam satu agama, diantaranya diakibatkan oleh klaim kebenaran dalam pengamalan ibadah seperti ini; seperti perbedaan cara shalat, ziarah kubur dan mulai puasa. Setiap orang, atau kelompok akan mendasarkan pada argumentasi teks sucinya masing-masing, yang tentu berbeda satu dengan lain. Selama pengamalan ibadah ini didasarkan pada klaim-klaim yang memutlakkan kebenaran pada dirinya, dan pada saat yang sama mengklaim kesesatan terhadap di luar dirinya, maka gesekan dan konflik tidak akan pernah terhindarkan, bahkan peperangan akan sangat mungkin berkobar.
Sejatinya, ibadah mahdhah seperti shalat, puasa dan haji dilaksanakan untuk melahirkan pribadi-pribadi yang tangguh yang siap mengemban misi kemanusiaan. Karena itu, ujian kebenaran suatu pandangan dalam hal ritualitas ini, semestinya didasarkan pada sejauh mana pengembanan misi kemanusiaan sukses dilahirkan dari suatu ritualitas tertentu. Klaim kebenaran diperlukan sebatas untuk memperkuat motivasi pengamalan, tetapi fanatisme yang berlebihan yang berbuah pelecehan dan kekerasan terhadap pihak lain adalah sesuatu yang tidak terpuji. Karena Allah SWT sendiri mewanti-wanti, bahwa tidak ada siapapun yang lebih berhak daripada yang lain untuk mengatasnamakan dirinya sebagai pasukan yang resmi atau pembicara yang sah atas nama-Nya (wa mâ ya’lamu junûda rabbika illa huwa, QS, 74:31).
Sejatinya, ibadah mahdhah merupakan hak privat seseorang sepenuhnya. Setiap orang berhak mencari informasi, meyakini, dan mengamalkan ritualitas ini sesuai dengan keyakinan yang dimiliki, tanpa pemaksaan [la ikraha fi ad-din]. Pendakwahan dan penyelenggaran ibadah mahdhah yang dilakukan siapapun atau kelompok manapun, harus diperkenankan sebagai wujud dari kebebasan keberagamaan setiap orang. Pengamalan ibadah ini juga semestinya tidak digunakan untuk memisah-misahkan kemanusiaan seseorang; yang satu perlu dibela dan yang lain harus diberangus.
Sementara Ibadah ghair mahdhah [ritualitas sosial] dalam Islam mencakup wilayah yang cukup luas, karena ia berhubungan dengan keseharian manusia sebagai makhluk sosial. Seperti berkawan, bertetangga, bermasyarakat, membela yang lemah, menolong yang miskin, mewujudkan kebersamaan, membangun kesejahteraan, menghidupkan keadilan dan merajut kemaslahatan.
Dalam berbagai kesempatan, baik Allah SWT dalam ayat-ayat Qur’an-Nya maupun Nabi Muhammad SAW dalam hadits-haditsnya sering mengecam orang-orang yang hanya terhenti pada ritualitas transendental, tanpa mentransformasikannya kepada ritualitas sosial. Dalam surat al-Ma’ûn, Allah memeberikan label ‘pendusta agama’ kepada mereka yang rajin shalat, tetapi tidak memberikan perhatian kepada anak-anak yatim dan orang-orang miskin. Nabi juga menafikan keimanan orang-orang yang berzina, mencuri, kenyang sendirian padahal tetangganya kelaparan, tidak menghormati tamu, tidak mencintai sesama dan beberapa ritualitas sosial lainnya.
Kalau ritualitas yang pertama sering menjadi titik pisah antar kelompok dalam satu agama, atau antar kelompok agama, maka ritualitas yang kedua ini menjadi titik temu bagi mereka. Tidak ada satu agamapun, atau pandangan keagamaan apapun, yang memperkenankan penindasan, pemerkosaan, perampasan dan kezaliman, atau menelantarakan orang-orang yang papa. Pada saat yang sama, semua agama dan semua kelompok keagamaan mengusung nilai-nilai kasih sayang, kemaslahatan, kesejahteraan dan keadilan bagi manusia, tanpa pembedaan-pembedaan.
Islam dan Kristen, misalnya tidak akan pernah bertemu untuk memastikan bagaimanakah sifat Tuhan yang sebenarnya, sehingga bisa dipastikan dengan cara apa Dia harus disembah dalam prosesi-prosesi ritual yang bersifat transendental. Bahkan, diantara kelompok-kelompok Islam juga terjadi perbedaan yang sangat tajam, misalnya antara kelompok Sufi dengan Wahabi, tentang apa deskripsi men-tauhid-kan Allah dan bagaimana beribadah yang benar, tepat dan sesuai keinginan-Nya. Tetapi Islam dan Kristen, atau diantara kelompok-kelompok Islam pasti bisa bertemu dalam hal menolong anak yatim, membantu orang miskin, memihak pada orang-orang lemah dan mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan bersama.
Kalau benar tujuan agama diturunkan ke muka bumi adalah untuk kemaslahtan manusia [rahmatan lil ‘alamin], mengapa kita tidak memperbanyak pertemuan-pertemuan dengan berbagai kelompok agama? Mengapa kita tidak banyak menitik beratkan pada ritualitas sosial yang merupakan titik temu antar agama? Bahkan mengapa kita tidak menjadikan ritualitas sosial sebagai tolok ukur keberagamaan kita?
Dalam hal berpuasa misalnya, kita tidak perlu memperbanyak perbedabatan tentang sah tidaknya puasa seseorang, kapan seharusnya memulai bulan puasa, puasa dan tidaknya penganut agama tertentu, atau kelebihan-kelebihan formalitas dari ritualitas puasa. Karena perdebatan ini akan memicu pemisahan antara barisan yang benar dan barisan yang salah, yang putih dan yang hitam, yang harus diperjuangkan untuk tetap hidup dan yang harus diberantas, diperangi bahkan dibunuh. Fanatisme yang muncul dari perdebatan ini akan mengubur nilai-nilai kesejatian manusia. Nabi sendiri telah mengkritik formalitas puasa, yang hanya mendatangkan lapar dan dahaga. Puasa memiliki nilai kemanusiaan yang lebih tinggi, lebih mulia dan lebih agung dari sekedar lapar dan dahaga.
Nilai-nilai yang ingin dibangun oleh ritualitas puasa, seperti kedisiplinan, empati dan aksi penguatan mereka yang lemah, adalah sesuatu yang menjadi kebersamaan [titik temu] antar kelompok dalam satu agama, maupun berbagai agama. Kalau kita bisa bertemu dengan berbagai agama, mengapa mesti melakukan pemisahan-pemisahan? Kalau kita bisa membangun kebersamaan, mengapa mesti mendahulukan perbedaan dan perpecahan?
Sudah saatnya, keberagamaan seseorang harus diuji dengan kesalehan sosial, bukan dengan kesalehan individual, yang hanya bermain dengan klaim-klaim kebenaran.
Dinamika Syariat Islam
Fenomena SI di Indonesia akhir-akhir ini terkesan formalistik-simplistis dan tidak dipahami secara lebih komprehensip, baik oleh pihak yang pro maupun yang kontra. SI sendiri dalam sejarahnya sepanjang lima belas abad lebih telah mengalami dinamika yang cukup beragam. Dalam disiplin ilmu fiqh [yurisprudensi Islam], terminologi syariat dipahami dengan bermacam-macam makna. Pertama, sebagai pokok-pokok ajaran Islam baik yang menyangkut keyakinan, perbuatan maupun akhlah yang bersumber langsung dari al-Qur’an dan Hadits. Artinya bukan dari pemahaman dan ijtihad para ulama. Kedua, sebagai bagian dari trilogi ajaran Islam [aqidah-syari’ah-akhlaq] yang terkait dengan perilaku dan perbuatan, sementara aqidah mengenai keyakinan dan akhlaq mengenai etika dan moral. Ketiga, syari’at adalah segala perangkat nilai yang dikembangkan masyarakat muslim sepanjang peradabannya.
Makna yang ketiga ini pada akhirnya yang banyak digunakan umat Islam, sehingga SI sebenarnya adalah merupakan produk budaya masyarakat muslim yang mengalami perkembangan dan perubahan-perubahan sepanjang sejarah. SI dalam bentuk kongkritnya muncul sebagai pandangan-pandangan fiqh dengan berbagai madzhab yang memiliki karakteristik masing-masing. Setidaknya ada empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Pada awalnya, ulama membiarkan isu SI terbuka; diperdebatkan, dikritisi dan dimaknai sesuai dengan konteks masing-masing. Mereka berdebat, berbeda pendapat dan membiarkan perbedaan ini dinikmati segenap masyarakat muslim. Karena itu, para tokoh pendiri madzhab enggan untuk melakukan legislasi terhadap SI yang sebenarnya merupakan wujud dari pemaknaan mereka terhadap teks-teks agama.
Ketika Imam Malik (w. 179H/795M) seorang pendiri madzhab Maliki diminta dukungannya terhadap upaya pemerintah untuk meligaslasi SI yang tertulis di dalam kitab kumpulan hadits yang ditulisnya sendiri ‘al-Muwaththa’, ia menjawab: “Kitab ini merupakan pemahaman saya terhadap syariat. Setiap bangsa memiliki ulama yang memahami syariat di tempatnya masing-masing. Jika khalifah membiarkan kondisi seperti ini, adalah lebih baik daripada harus dilegislasi”. Mungkin yang dikhawatirkan Imam Malik, ketika SI dilegislasikan maka akan menjadi statis dan tidak lagi bisa merespon seluruh persoalan masyarakat yang terus berubah dan berkembang.
Dengan sifatnya yang demikian, tidaklah tepat jika dikatakan syariat adalah sesuatu yang final. Syari’at tidak terbentuk utuh sekali waktu. Ia mengalami perubahan, perkembangan, dan pembaruan. Baik pada masa Nabi, sahabat, maupun masa-masa selanjutnya. Penentuah harga pasar misalnya, pada m asa Nabi Saw diharamkan karena akan menyebabkan kezaliman terhadap para pedagang. Tetapi ketika pasar mulai membesar dan monopoli telah menjadi realitas yang sulit dihadapi, beberapa ulama madzhab Hanafi memperkenankan pemerintah untuk menentukan harga barang-barang tertentu, dalam pandangan Zaidiyyah bahkan wajib jika untuk membela kepentingan konsumen.
Citra statis syari’at baru muncul pada masa kemunduran peradaban Islam, ketika pintu ijtihad dianggap telah ditutup. Fanatisme kelompok atau madzhab juga menguat seiring dengan fanatisme berlebihan terhadap syariat. Ia dianggap final, berlaku untuk segala zaman. Jika syari’at dipahami demikian, sungguh sangat merugikan, karena ia tidak akan siap untuk menjadi perangkat hukum maupun sistim sosial yang kondusif terhadap perkembangan dan perubahan zaman. Syari’at, dilegislasikan atau tidak, harus selalu diperbaharui [tajdid] untuk memastikan bahwa ia benar-benar mendatangkan kerahmatan bagi seluruh makhluk [rahmatan lil ‘alamin].