Kesetaraan Perempuan dan Laki-laki: Dimulai dari Relasi Pernikahan Ø Islam diyakini sebagai agama yang humanis dan memperhatikan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan termasuk kesetaraan perempuan dan laki-laki. Namun kesetaraan dan keadilan yang menjadi prinsip utama Islam kini mendapat tantangan dari berbagai pihak khususnya berkaitan dengan hal-hal yang dianggap mendeskreditkan perempuan. Hal ini tak lain karena interpretasi terhadap ajaran Islam yang juga tak dapat dilepaskan dari asumsi-asumsi kultural yang dianut para ulama dan mufassirin. Di sinilah peluang ketidakadilan jender dapat terjadi dengan mengatasnamakan ajaran Islam.
Ø Relasi pernikahan yang umum dianut dalam masyarakat kita adalah perempuan ditempatkan sebagai pendamping suami (lihat misalnya; falsafah organisasi dharma wanita yang merupakan organisasi isteri-isteri pegawai negeri di mana posisinya dalam organisasi tersebut juga sangat tergantung pada jabatan suami-suami mereka). Masyarakat kita hanya mengenal klausa“isteri melayani suami” atau “isteri mendampingi suami” dan tidak sebaliknya. Sementara untuk suami lebih banyak digunakan klausa ”suami memimpin isteri” atau “suami melindungi isteri”
Ø Hal serupa tercermin dari dalil-dalil agama yang kerap disampaikan pada ceramah-ceramah para kyai dan diyakini secara luas. Sekian banyak hadis yang sering dikemukakan sebagai pembenaranposisi isteri sebagai pihak yang harus patuh dan tunduk kepada suami.
Ø Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al Hakim, Rasulullah SAW bersabda:
“Seandainya manusia itu boleh bersujud kepada manusia niscaya aku perintahkan perempuan itu untuk bersujud kepada suaminya”
Dalam hadis lain disebutkan Rasulullah SAW bersabda bahwa
“Perkara yang pertama kali ditanyakan kepada perempuan pada hari kiamat adalah shalat dan kepatuhan kepada suami”
Ath-Thabarani meriwayatkan sebagai berikut :
“Bahwasanya perempuan itu tidak dapat memenuhi hak Allah sebelum memenuhi hak-hak suaminya. Seumpama suami meminta pada isterinya sementara si isteri sedang berada di atas punggung unta, maka ia tidak boleh menolak dirinya”
Ø Masih banyak lagi hadis-hadis serupa yang terkadang dhoif(lemah) bahkan maudhu (palsu), namun sudah beredar secara luas di kalangan umat/masyarakat dan diyakini serta dipahami begitu saja (jarang yang mau memperhatikan kualitas hadisnya). Hadis-hadis tersebut memperlihatkan bagaimana superioritas dan dominasi suami yang sangat besar terhadap isteri. Hal ini selayaknya patut dipertanyakankarena tidak sesuai dengan spirit keadilan dan kesetaraan yang ingin ditegakkan Islam. Peluang terjadinya domestic violence atau kekerasan dalam rumah tangga juga menjadi besar dengan menempatkan suami sebagai pihak yang harus selalu ditaati isteri.
Ø Oleh karena itu, Mengapa Negara kita Indonesia telah mempunyai UU PKDRT (2004)
Ø Dalam Al-Qur’an, pembenaranlaki-laki sebagai pemimpin bagi perempuan dalam pernikahan (dan seringkali dalam hal-hal lainnya) seringkali mengacu pada Qs. Al-Nisa: 34 yaitu:
“ Kaum laki-laki adalah qawwamun bagi kaum perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka”
Ø Kata qawwamun ini dalam tafsir Indonesia diterjemahkan sebagai pemimpin. Sementara dalam tafsir dari Yusuf Alidalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai “protector and maintainer” hal ini menunjukkan bahwa dari sisi bahasa kata qowwamunsendiri masih dapat ditafsirkan secara berbeda. Yusuf Ali misalnya tidak memilih “leading” sebagai terjemahan dari qowwamun. Memang terdapat irisan dalam pengertian “memimpin” dengan “melindungi dan memelihara”. Tetapi dua termin tersebut dapat memberikan implikasi yang berbeda di mana kata memimpin sendiri lebih berkonotasi hirarkis dari pada termin melindungi dan memelihara.
Ø Harus juga diperhatikan bahwa konteks “melindungi dan memelihara” itu dikaitkan dengan konteks suami menafkahi isteri dan membiayai rumah tangga. Hal ini tepat karena tugas-tugas reproduksi perempuan yang sangat berat yaitu hamil, melahirkan dan menyusui yang tidak mungkin dapat digantikan oleh laki-laki. Sebagai wujud dari nilai-nilai keadilan yang hendak ditegakkan Islam maka kewajiban untuk membiayai rumah tangga lebih dibebankan kepada suami daripada isteri sebagai imbangan bebasnya laki-laki dari tugas reproduksi tersebut. Jadi dapat dikatakan dalam Islam, isteri tidak dibebani kewajiban untuk membiayai kelangsungan rumah tangga. Namun untuk dicatat, Al-Qur’an tidak pernah menyatakan larangan bagi perempuan untuk bekerja di luar rumah.
Ø Tak banyak yang mengangkat bahwa sesungguhnya Al-Qur’an sudah menawarkan relasi pernikahan yang kolegial (kemitraan, kesetaraan), yang lebih mencerminkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini terdapat dalam Qs. Al-Baqarah: 187 “hunna libasul lakum wa antum libasul lahun” yang artinya kamu adalah pakaian bagi mereka dan mereka adalah pakaian bagimu.
Ø Dapat dilihat bahwa Al-Qur’an sesungguhnya sudah memberikan perumpamaan relasi laki-laki dan perempuan yang sangat dalam maknanya. Apa fungsi pakaian? Pakaian ditujukan untuk melindungi tubuh kita dari panas dan dingin, dari gigitan serangga, dari rasa malu, dan untuk memperindah penampilan kita.
Ø Sebagaimana pakaian, pasangan kita melengkapi kekurangan, melindungi, dan menyempurnakan diri kita. Begitulah relasi isteri dan suami yang mencerminkan kesetaraan. Tidak ada hirarki di mana satu pihak menjadi pemimpin bagi pihak yang lain. Toh, rumah tangga sebetulnya tak dapat disamakan dengan lembaga-lembaga struktural. Ada relasi-relasi khas dalam rumah tangga di mana kasih sayang dan persahabatan menjadi jauh lebih penting untuk dikedepankan daripada siapa memimpin siapa dan siapa melayani siapa.
Ø Rasulullah sendiri memiliki pernikahan yang sangat modern dengan isteri pertamanya, Siti Khadijah. Khadijah adalah janda yang kaya raya dan Muhammad adalah anak buahnya. Khadijah yang melamar Muhammad. Ia yang menjadi sosok pelindung ketika Muhammad baru menerima wahyu dan memulai dakwahnya. Khadijah yang membiayai seluruh aktivitas dakwah Rasul. Rasulullah dalam berbagai riwayat selalu diceritakan mengerjakan sendiri pekerjaan-pekerjaan domestik dan tidak pernah minta dilayani isterinya.
Ø Menurut saya, sudah waktunya untuk mulai mengkaji kembali bentuk relasi yang lebih setara antara isteri dan suami agar sesuai dengan nilai-nilai keadilan yang hendak ditegakkan Islam. Sesungguhnya rumah tangga yang sakinah, mawahdah wa rahmah adalah rumah tangga yang egaliter, bebas dominasi dan diskriminasi kepada pihak manapun, baik perempuan maupun laki-laki.
Ø Saya memilih relasi pernikahan yang kolegial di mana laki-laki dan perempuan saling melayani, saling mendampingi, saling memimpin, saling melindungi, salingmendukung, dan saling-saling lainnya. Sebagaimana ungkapan Allah yang sangat indah “kamu adalah pakaian bagi mereka dan mereka adalah pakaian bagimu”.
Bagaimana dengan Anda?
HAK-HAK SEKSUAL PEREMPUAN DALAM PERNIKAHAN
Ø Salah satu keuntungan yang (semestinya) bisa kita dapat dari pernikahan adalah halalnya melakukan hubungan seks dengan lawan jenis. Hubungan seks memang tidak hanya ditujukan sebagai upaya memperoleh keturunan tetapi juga diciptakan untuk kesenangan manusia. Namun pada kenyataannya seringkali terjadi hanya satu pihak yang memiliki kesempatan besar untuk memperoleh kenikmatan seksual. Sementara pihak yang lain berada pada posisi yang tersubordinasi. Hal ini tentu saja menjauh dari cita-cita Islam yang hendak mewujudkan relasi pernikahan mawahdah wa rahmah.
Ø Dalam banyak kasus perempuanlah yang seringkali berada pada posisi kurang menguntungkan. Kultur masyarakat yang patriarkal (berpusat pada kekuasaan laki-laki) kerap menyulitkan perempuan menuntut hak-hak seksualnya dalam pernikahan. Hal ini misalnya terlihat dari banyak penelitian ilmiah yang menunjukkan kecilnya prosentasi perempuan yang dapat memperoleh orgasme dalam berhubungan seks. Dalam kasus lain, perempuan seringkali tidak berdaya ketika suami menginginkan seks sementara ia sedang tak ingin karena satu dan lain hal. Kasus lain yang sering ditemui dalam masyarakat kita adalah perempuan yang terus dituntut hamil hingga melahirkan jenis kelamin anak yang dikendaki, misalnya ketika suami/keluarga menginginkan anak laki-laki. Hal ini nyata-nyata terjadi di tengah masyarakat kita.
Ø Sebelum kita beranjak lebih jauh mari kita lihat dulu definisi pernikahan dari empat mahzab terkemuka dalam dunia Islam sebagai berikut:
1. Definisi ulama Hanafiyah. Ulama dari kalangan ini pada umumnya mendefinisikan nikah secara akad (perjanjian) yang berakibat pada pemilikan “seks” secara sengaja. Yang dimaksud sengaja di sini adalah kepemilikan laki-laki atas alat kelamin serta seluruh badan perempuan untuk dinikmati.
2. Definisi Ulama Syafiiyah. Nikah adalah ada yang berdampak pada kepemilikan seks dengan menggunakan kalimat ankah, tazwij atau kalimat sejenis. Intinya laki-laki berhak untuk mengambil manfaat seksual dari alat kelamin perempuan.
3. Definisi Ulama Malikiyah, mendefinisikan nikah sebagai perjanjian untuk mendapatkan kenikmatan seksual dengan anak adam tanpa menyebutkan secara pasti harga sebelumnya. Intinyabahwa pernikahan adalah akad kepemilikan manfaat alat kelamin dan seluruh badan istri.
4. Definisi Ulama Hanabilah. Menurut Mahzab ini nikah adalah pengucapan kata ankah dan tazwijuntuk kesenangan seksual
Ø Dapat kita lihat bahwa keempat definisi tersebut kurang lebih menerangkan hak suami terhadap tubuh istri, tetapi tidak ada pernyataan yang menunjukkan sebaliknya. Hal ini disinyalir menjadi cikal bakal pandangan yang timpang terhadap masalah seksualitas dalam pernikahan di mana perempuan ditempatkan sebagai objek seks dalam pernikahan.
Ø Selain itu simaklah juga hadis berikut ini yang sering sekali dikumandangkan para kyai: “Jika seorang istri menghabiskan malam dengan meninggalkan tempat tidur suaminya maka para malaikat mengutuknya sampai pagi” HR.Bukhari
Ø Namun, tak pernah disebutkan sanksi apa yang bakal diterima suami jika tak memenuhi hasrat istri. Padahal, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki kebutuhan seks meski tidak selalu berada dalam kondisi sama-sama siap dan mood untuk melakukannya.
Ø Atau dalam hadis lain: “Jika suami mengajak istrinya ke tempat tidur, maka hendaklah ia memenuhinya walaupun sedang di dapur” HR. at-Turmudzi.
Ø Beberapa riwayat lain menyebutkan juga “walaupun sedang berada di atas punggung unta”. Hadis-hadis tersebut cukup populer dan sayangnya seringkali diinterpretasikan dari sudut pandang yang merugikan perempuan. Misalnya, seringkali tidak dibahas bagaimana kalau yang terjadi kondisi sebaliknya yaitu istri yang menginginkan dan suami yang menolak Sementara suami diposisikan mempunyai kekuasaan total atas istri yang tidak punya hak untuk menolak berhubungan seks bagaimanapun kondisinya. Padahal hak tolak (menolak berhubungan intim) juga merupakan bagian dari hak atas tubuh dan seksualitas perempuan. Karena itulah, kini sudah ada istilah marital rape atau perkosaan dalam pernikahan.
Ø Mungkin untuk sebagian orang istilah ini terdengar mustahil. Namun nyatanya hal tersebut kerap terjadiketika laki-laki memaksakan hasrat seksualnya kepada istrinya padahal ia sedang lelah, sakit, menstruasi, mengalami masalah psikologis atau hal-hal lainnya yang membuatnya tidak terangsang dan tidak menginginkan seks. Tentu saja hal ini berakibat pada seks yang tidak menyenangkan bahkan menyakitkan bagi istri. Meskipun demikian baik perempuan maupun laki-laki yang menolak berhubungan seks harus dapat menjelaskan alasannya secara jujuragar tak menimbulkan prasangka dari pasangannya. Yang terpenting adalah mengedepankan keterbukaan dan menghindari tindakan-tindakan pemaksaan kepada pasangan. Bukankah hunna libasul lakum wa antum libasul lahunna?
Ø Saya rasa dibutuhkan pendefinisian ulang dari definisi yang diberikan ulama empat mahzab tersebut agar lebih mencerminkan kesetaraan dalam relasi seksual antara istri dan suami (meski pernikahan juga sebetulnya jauh lebih besar dari sekedar masalah seks). Penting untuk ditegaskan bahwa pernikahan adalah sebuah lembaga yang sah bagi laki-laki dan perempuan di mana keduanya sama-sama memiliki hak untuk menikmati seks dari pasangannya. Pengkajian ulang terhadap hadis-hadis yang cenderung “memojokkan” perempuan seharusnya juga dilakukan untuk menghindarkan diskriminasi terhadap satu pihak. Karena sebagaimana terdapat surat Qs. Al-Baqarah (2): 228: “Dan mereka (perempuan/istri) berhak mendapatkan perlakuan baik seperti kewajibannya (memperlakukan suaminya)”.
Ø Selain berhak mendapatkan kenikmatan seks dari suaminya, perempuan juga berhak untuk menentukan kapan ingin mempunyai anak dan berapa jumlahnya. Selanjutnya apabila ia menolak untuk hamil maka dapat dilakukan cara-cara KB. Dalam hal ini istri juga berhak untuk menentukan alat kontrasepsi apa yang sesuai dengan dirinya. Terkait dengan alat kontrasepsi, jangan sampai timbul ignorance dari pihak laki-laki, karena sebetulnya berbeda dengan perempuan yang memiliki ‘masa subur’ sehingga dapat menggunakan kalender, laki-laki selalu berpotensi untuk memberikan ‘sumbangsihnya’ dalam proses kehamilan. Jadi seyogyanya laki-laki juga berperan lebih besar untuk menjadi akseptor KB.
Ø Terpenuhinya hak-hak istri dan suami dalam pernikahan adalah syarat mutlak tercapainya rumah tangga sakinah. Sebagai penutup, saya hendak mengutip sabda Nabi Muhammad SAW kepada para sahabat laki-lakinya yang diriwayatkan at-Turmidzi :
“Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik kepada istrimu “
* Sudahkah Anda Bersikap Baik terhadap Pasanganmu (isteri/suami)???
Riwayat-Riwayat Tentang Perhatian Nabi Saw terhadap Kaum Perempuan:
Ø Kasus beberapa perempuan yang dikawinkan tanpa seizin dan sepengetahuan mereka, pernah mengadu kepada Nabi Saw. Dan jawaban yang keluar dari Nabi Saw adalah pemihakan dan dukungan terhadap perempuan; dengan menyerahkan hak pernikahan sepenuhnya kepada perempuan.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ فَتَاةً دَخَلَتْ عَلَيْهَا. فَقَالَتْ: إِنَّ أَبِيْ زَوَّجَنِيْ مِنْ اِبْنِ أَخِيْهِ، لِيَرْفَعَ بِيْ خَسِيْسَتَهُ، وَأَنَا كَارِهَةٌ. فَقَالَتْ: إِجْلِسِيْ حَتَّى يَأْتِيَ رَسُوْلُ اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَجَاءَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَأَخْبَرَتْهُ فَأَرْسَلَ إِلَى أَبِيْهَا فَدَعَاهُ. فَجَعَلَ اْلأَمْرَ إِلَيْهَا. فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَدْ أَجَزْتُ مَا صَنَعَ أَبِيْ، وَلَكِنْ أَرَدْتُ أَنْ أَعْلَمَ النِّسَاءَ: أَنَّ لَيْسَ لِلآبَاءِ مِنَ اْلأَمْرِ شَيْئٌ.
Aisyah ra menuturkan: “Bahwa ada seorang remaja perempuan yang datang menemuinya seraya berkata: “Ayahku mengawinkanku dengan anak saudaranya, agar status sosialnya terangkat olehku, padahal aku tidak suka”. “Duduklah, sebentar lagi Rasulullah datang, nanti aku tanyakan”, jawab Aisyah. Ketika Rasulullah SAW datang, langsung diungkapkan di hadapan beliau persoalan perempuan tadi. Beliau memanggil orang tua si perempuan (sambil memberi peringatan), dan mengembalikan persoalan itu kepada si perempuan untuk memberikan keputusan. Di hadapan mereka, remaja perempuan tadi menyatakan (dengan tegas): “Aku izinkan apa yang telah dilakukan ayahku, tetapi aku ingin memberikan peringatan sekaligus pernyataan untuk semua perempuan: bahwa mereka para orang tua sama sekali tidak memiliki hak atas persoalan ini”. (Riwayat an-Nasa’i, lihat Jami’ al-Ushûl, no. hadis: 8974, 12/142).
Ø Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Malik, Abu Dawud dan an-Nasa’i, bahwa ketika seorang perempuan yang bernama Khansa binti Khidam ra merasa dipaksa dikawinkan orang tuanya, Nabi mengembalikan keputusan itu kepadanya; mau diteruskan atau dibatalkan. Tidak dikembalikan kepada orang tuanya. Dalam riwayat Abu Salamah, Nabi Saw menyatakan kepada Khansa r.a.:
فَانْكِحِيْ مَنْ شِئْتِ
“Kamu yang berhak untuk menikah dengan seseorang yang kamu kehendaki”. Khansapun pada akhirnya kawin dengan laki-laki pilihannya Abu Lubabah bin Abd al-Mundzir r.a. Dari perkawinan ini ia dikarunia anak bernama Saib bin Abu Lubabah. (Lihat: az-Zayla'i, Nashb ar-Râyah Takhrîj Ahâdîts al-Hidâyah, , juz III, hal. 232).
Ø Dalam catatan Imam Bukhari, isteri Nabi Muhammad SAW yaitu Aisyah binti Abi Bakr ra pernah memuji para perempuan Anshar yang selalu belajar:
نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ اْلأَنْصَارِ، لَمْ يَكُنْ يَمْنَعُهُنَّ الْحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِى الدِّيْنِ
“Perempuan terbaik adalah mereka yang dari Anshar, mereka tidak pernah malu untuk selalu belajar agama” (Riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasâ’i, lihat: Ibn al-Atsîr, juz VIII, hal. 196, nomor hadis: 5352).
Bahkan mereka berani menuntut kepada Nabi SAW ketika mereka merasakan bahwa hak belajar mereka tidak terpenuhi bila dibandingkan dengan kesempatan yang diberikan kepada sahabat laki-laki. Ada teks hadits yang lain, dari Abi Sa’îd al-Khudriyy ra berkata:
قَالَ النِّسَاءُ لِلنَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَلَبَنَا عَلَيْكَ الرِّجَالُ فَاجْعَلْ لَنَا يَوْمًا مِنْ نَفْسِكَ. فَوَعَدَهُنَّ يَوْماً لَقِيَهُنَّ فِيْهِ. فَوَعَظَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ
“Bahwa suatu saat beberapa perempuan mendatangi Nabi Muhammad SAW, mereka mengadu: “Mereka yang laki-laki telah banyak mendahului kami, bisakah kamu mengkhususkan waktu untuk kami para perempuan? Nabi bersedia mengkhususkan waktu untuk mengajari mereka, memperingatkan dan menasehati mereka”.
Dalam catatan lain: ada seorang perempuan yang datang menuntut kepada Nabi SAW, ia berkata:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، ذَهَبَ الرِّجَالُ بِحَدِيْثِكَ فَاجْعَلْ لَنَا مِنْ نَفْسِكَ يَوْماً نَأْتِيْ فِيْهِ، تُعَلِّمُنَا مِمَّا عَلَّمَكَ اللهُ فَقَالَ: اِجْتَمِعْنَ فِى يَوْمِ كَذَا وَكَذَا فِى مَكَانِ كَذَا وَكَذَا فَاجْتَمَعْنَ، فَأَتَاهُنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَّمَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَهُ اللهُ
“Wahai Rasul, para lak-laki telah jauh menguasai pelajaran darimu, bisakah kamu peruntukkan waktu khusus untuk kami perempuan, untuk mengajarkan apa yang kamu terima dari Allah? Nabi merespon: “Ya, berkumpullah pada hari ini dan di tempat ini”. Kemudian para perempuan berkumpul di tempat yang telah ditentukan dan belajar dari Rasulullah tentang apa yang diterima dari Allah SWT. (Riwayat Bukhari dan Muslim, lihat: Ibn al-Atsîr, juz X, hal. 359, nomor hadis: 7340).
Ø Teks-teks hadits ini setidaknya mengisyaratkan bahwa perempuan memiliki hak yang sama terhadap pendidikan. Dengan demikian, semestinya tidak ada lagi alasan menelantarkan pendidikan perempuan. Hak pendidikan bagi perempuan, berarti juga hak untuk mendidik dan mengajar. Dalam catatan para ilmuwan hadits, para perempuan pertama terlibat aktif dalam pengajaran dan periwayatan hadits. Tercatat hampir seribu dari sahabat perempuan yang menjadi pengajar, atau tepatnya perawi hadits. Seperti Aisyah dan Asma bint Abi Bakr, Hafshah bint Umar bin al-Khattab, Khansa binti Khidam, Umm Salamah, Umm Ayyub, Umm Habibah ra, dan banyak lagi yang lain. Anehnya, jumlah perempuan yang ilmuwan menjadi semakin kecil ketika dunia Islam justru semakin berkembang, baik dari sisi politik maupun sosial. Pada abad ketiga Islam misalnya, hanya ada sepuluh perempuan yang dikenal dan tercatat sebagai penyampai ilmu pengetahuan (Ruth Roded, Kembang Peradaban, 1995:119-123). Berarti persoalan kemunduran pendidikan perempuan bukan pada ajaran Islam, bukan juga pada teks-teks hadits, tetapi pada ummat Islam sendiri, yang semakin hari semakin memposisikan perempuan pada tempat yang marjinal dalam hal pengajaran dan pendidikan. Memperjuangkan pendidikan perempuan adalah meletakkan persoalan pada posisi semula dimana Islam awal meletakkannya.
Ø Aisyah bint Abi Bakr ra telah mencontohkan bagaimana beliau mengkritik hadits tentang kesialan perempuan, yang diriwayatkan sahabat Abi Hurairah ra dan dicatat Imam Bukhari dalam kitab Shahîh-nya. Teks yang dimaksud adalah pernyataan Nabi Saw riwayat Abu Hurairah ra:
إِنَّمَا الشُّؤُمُ فِيْ ثَلاَثَةٍ: فِي الْفَرَسِ، وَالْمَرْأَةِ، وَالدَّارِ
“Sumber kesialan itu ada tiga hal; kuda, perempuan dan rumah”. (Lihat: Ibn Hajar al-Asqallani, Ahmad bin Ali bin Hajar, Fathal-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri, 1993: Dar al-Fikr, Beirut, Libanon, juz VI, hal. 150-152.) Aisyah ra tidak mau menerima teks hadits tersebut. Karena maknanya bertentangan dengan ayat al-Qur’an :
مَا اَصَبَ مِنْ مُصِيْبَةٍ فِى الاَرْضِ وَلاَ فِي اَنْفُسِكُمْ اِلاَّ فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ اَنْ نَّبْرَأَهَاقلىاِنَّ ذٰلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيْرٌ
“Tiada bencanapun yang menimpa di muka bumi ini dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah” (QS. Al-Hadid, 57: 22).
Katanya, tidak mungkin teks hadits yang menyatakan bahwa perempuan adalah sumber kesialan, ia keluar dari mulut Rasul, suaminya (lihat: al-’Asqallani, Fath al-Bari, VI/150-152). Dari sini, Aisyah ra mengajarkan kepada kita bahwa pemaknaan hadits harus dikaitkan dengan ayat-ayat al-Qur’an.
Ø Ijtihad Aisyah ra ini mengajarkan bagaiman pemaknaan teks-teks hadits harus dipandu dengan ayat-ayat al-Qur’an. Dalam relasi laki-laki dan perempuan misalnya, kita bisa merujuk pada prinsip-prinsip yang digariksan al-Qur’an. Terutama hal-hal berikut:; [1] bahwa perempuan dan laki-laki diciptakan dari entiti [nafs] yang sama (QS. An-Nisa, 4: 1); [2] bahwa kehidupan yang baik [hayâtan thayyibah] hanya bisa dibangun dengan kebersamaan laki-laki dan perempuan dalam kerja-kerja positif [‘amalan shâlihan](QS. An-Nahl, 16:97); perlu kerelaan kedua belah pihak, laki-laki dan perempuan dalam kontrak perkawinan [tarâdlin] (QS. Al-Baqarah, 2: 232-233), [2] tanggung jawab bersama [al-amânah] (QS. An-Nisa, 4: 48), [3] independensi ekonomi dan politik masing-masing (QS. Al-Baqarah, 2: 229 dan an-Nisa, 4: 20), [4] kebersamaan dalam membangun kehidupan yang tentram [as-sakînah] dan penuh cinta kasih [al-mawaddah wa ar-rahmah] (QS. Ar-Rum, 30:21), [5] perlakuan yang baik antar sesama [mu’âsyarah bil ma’rûf] (QS. An-Nisa, 4:19), [6] berembug untuk menyelesaikan persoalan [musyâwarah] (QS. Al-Baqarah, 2:233, Ali ‘Imran, 3:159 dan Asy-Syura, 42:38). Prinsip-prinsip ini menjadi dasar pemaknaan ulang terhadap beberapa hadits yang secara literal mengandung makna-makna yang tidak adil terhadap perempuan.
Ø Hampir semua orang mendengar bahwa dalam Islam hak seorang ibu lebih besar daripada hak seorang ayah, tiga berbanding satu. Hal ini berangkat dari suatu teks hadits Nabi Muhammad Saw. Suatu saat ada orang yang bertanya kepada beliau:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ اَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِيْ؟ قَالَ: اُمُّكَ قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: اُمُّكَ قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: اُمُّكَ، قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: اَبُوْكَ، ثُمَّ اَدْنَاكَ اَدْنَاكَ
“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak aku perlakukan dengan baik? “Ibumu”, jawab Nabi. “Kemudian siapa?” “Ibumu”. “Lalu?”, “Ibumu”, baru kemudian Bapakmu dan keluarga terdekat yang lain”, tegas Nabi. (Riwayat Bukhari dan Muslim. Lihat: Jâmi’ al-Ushûl, I/333).
Penyebutan tiga kali terhadap ibu merupakan penegasan bahwa proses reproduksi, yang dalam al-Qur’an dianggap sesuatu yang menyusahkan [wahnan ‘ala wahnin] dan melelahkan [kurhan ‘ala kurhin], harus dihormati, diberi perhatian dan diimbangi dengan perlakuan baik [ihsan]. Perlakuan baik yang paling dekat adalah yang terkait dengan amanah reproduksi yang diemban sang ibu. Dalam konteks sekarang, harus ada komitmen yang jelas dan tegas dari semua komponen masyarakat untuk mewujudkan hak-hak reproduksi bagi perempuan.
Ø Nabi Muhammad Saw:
اَلْجَنَّةُ تَحْتَ أَقْدَامِ اْلأُمَّهَاتِ
“Bahwa surga itu ada di bawah telapak kaki ibu” (Riwayat Ahmad, Nasa’i, Ibn Majah dan al-Hakim. Lihat: Kasyf al-Khafâ, I/335), kita seharusnya mewujudkan kehidupan surgawi bagi ibu pengemban amanah reproduksi di dunia ini, sebelum di akhirat nanti. Tentu, hal ini merupakan tugas kita yang harus diupayakan secara bersama-sama. Semoga demikian.