Sekilas Warkop
Warkop atau sebelumnya Warkop Prambors, juga kemudian dikenal sebagai Trio DKI adalah grup lawak yang dibentuk oleh Nanu (Nanu Mulyono), Rudy (Rudy Badil), Dono (Wahjoe Sardono), Kasino (Kasino Hadiwibowo) dan Indro (Indrodjojo Kusumonegoro). Nanu, Rudy, Dono dan Kasino adalah mahasiswa Universitas Indonesia (UI), Jakarta sedangkan Indro kuliah di Universitas Pancasila, Jakarta. Mereka pertama kali meraih kesuksesan lewat acara Obrolan Santai di Warung Kopi yang merupakan garapan dari Temmy Lesanpura, Kepala Bagian Programming Radio Prambors. Acara lawakan setiap Jumat malam antara pukul 20.30 hingga pukul 21.15, disiarkan oleh radio Prambors yang bermarkas di kawasan Mendut, Prambanan, Borobudur, alias Menteng Pinggir.
Dalam acara itu, Rudi Badil dalam obrolan sering berperan sebagai Mr. James dan Bang Cholil. Indro yang berasal dari Purbalingga berperan sebagai Mastowi (Tegal), Paijo (Purbalingga), Ubai atau Ansori. Kasino yang asli Gombong perannya bermacam-macam: Mas Bei (Jawa), Acing/Acong (Tionghoa), Sanwani (Betawi) dan Buyung (Minang). Nanu yang asli Madiun sering berperan sebagai Poltak (Batak) sedangkan Dono sendiri hanya berperan sebagai Slamet (Jawa).
Sejarah Berdirinya Warkop
Ide awal obrolan Warkop Prambors berawal dari dedengkot radio Prambors, Temmy Lesanpura. Radio Prambors meminta Hariman Siregar, dedengkot mahasiswa UI untuk mengisi acara di Prambors. Hariman pun menunjuk Kasino dan Nanu, sang pelawak di kalangan kampus UI untuk mengisi acara ini. Ide ini pun segera didukung oleh Kasino, Nanu, dan Rudy Badil, lalu disusul oleh Dono dan Indro.
Rudy yang semula ikut Warkop saat masih siaran radio, tak berani ikut Warkop dalam melakukan lawakan panggung, karena demam panggung (stage fright). Dono pun awalnya saat manggung beberapa menit pertama mojok dulu, karena masih malu dan takut. Setelah beberapa menit, barulah Dono mulai ikut berpartisipasi dan mulai kerasan, hingga akhirnya terus menggila hingga akhir durasi lawakan. Indro adalah anggota termuda, saat anggota Warkop yang lain sudah menduduki bangku kuliah, Indro masih pelajar SMA.
Pertama kali Warkop muncul di pesta perpisahan (kalau sekarang prom nite) SMA IX Jakarta yang diadakan di Hotel Indonesia. Semua personel gemetar, alias demam panggung, dan hasilnya hanya bisa dibilang lumayan saja, tidak terlalu sukses. Namun peristiwa pada tahun 1976 itulah pertama kali Warkop menerima honor yang berupa uang transport sebesar Rp20.000. Uang itu dirasakan para personel Warkop besar sekali, namun akhirnya habis untuk menraktir makan teman-teman mereka. Berikutnya mereka manggung di Tropicana. Sebelum naik panggung, kembali seluruh personel komat-kamit dan panas dingin, tapi ternyata hasilnya kembali lumayan.
Baru pada acara Terminal Musikal (asuhan Mus Mualim), grup Warkop Prambors baru benar-benar lahir sebagai bintang baru dalam dunia lawak Indonesia. Acara Terminal Musikal sendiri tak hanya melahirkan Warkop tetapi juga membantu memperkenalkan grup PSP (Pancaran Sinar Petromaks), yang bertetangga dengan Warkop. Sejak itulah honor mereka mulai meroket, sekitar Rp 1.000.000 per pertunjukan atau dibagi empat orang, setiap personel mendapat Rp 250.000.
Mereka juga jadi dikenal lewat nama Dono-Kasino-Indro atau DKI (yang merupakan pelesetan dari singkatan Daerah Khusus Ibukota). Ini karena nama mereka sebelumnya Warkop Prambors memiliki konsekuensi tersendiri. Selama mereka memakai nama Warkop Prambors, maka mereka harus mengirim royalti kepada Radio Prambors sebagai pemilik nama Prambors. Maka itu kemudian mereka mengganti nama menjadi Warkop DKI, untuk menghentikan praktik upeti itu.
Personil
Dari semua personel Warkop, mungkin Dono lah yang paling intelek, walau ini agak bertolak belakang dari profil wajahnya yang 'ndeso' itu. Dono bahkan setelah lulus kuliah menjadi asisten dosen di FISIP UI tepatnya jurusan Sosiologi. Dono juga kerap menjadi pembawa acara pada acara kampus atau acara perkawinan rekan kampusnya. Kasino juga lulus dari FISIP. Selain melawak, mereka juga sempat berkecimpung di dunia pencinta alam. Hingga akhir hayatnya Nanu, Dono, dan Kasino tercatat sebagai anggota pencinta alam Mapala UI.
Era Film
Setelah puas manggung dan mengobrol di udara, Warkop mulai membuat film-film komedi yang selalu laris ditonton oleh masyarakat. Dari filmlah para personel Warkop mulai meraup kekayaan berlimpah. Dengan honor Rp 15.000.000 per satu film untuk satu grup, maka mereka pun kebanjiran uang, karena tiap tahun mereka membintangi minimal 2 judul film pada dekade 1980 dan 1990-an yang pada masa itu selalu diputar sebagai film menyambut Tahun Baru Masehi dan menyambut Hari Raya Idul Fitri di hampir semua bioskop utama di seluruh Indonesia.
Era Televisi
Dalam era televisi swasta dan menurunnya jumlah produksi film, DKI pun lantas memulai serial televisi sendiri. Serial ini tetap dipertahankan selama beberapa lama walaupun Kasino tutup usia pada tahun 1997. Setelah Dono juga meninggal pada tahun 2001, Indro menjadi satu-satunya personel Warkop. Sedangkan Nanu sudah meninggal tahun 1983 karena sakit liver dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir Jakarta.
Proses Kreatif
Kelebihan Warkop dibandingkan grup lawak lain, adalah tingkat kesadaran intelektualitas para anggotanya. Karena sebagian besar adalah mahasiswa (yang kemudian beberapa menjadi sarjana), maka mereka sadar betul akan perlunya profesionalitas dan pengembangan diri kelompok mereka.
Ini dilihat dari keseriusan mereka membentuk staf yang tugasnya membantu mereka dalam mencari bahan lawakan. Salah satu staf Warkop ini kemudian menjadi pentolan sebuah grup lawak, yaitu Tubagus Dedi Gumelar alias Miing Bagito.
Saat itu Miing mengaku bahwa ia ingin sekali menjadi pelawak, dan kebetulan ia diterima menjadi staf Warkop. Kerjanya selain mengumpulkan bahan lawakan, melakukan survei lokasi (di kota atau daerah sekitar tempat Warkop akan manggung), kalau perlu melakukan pekerjaan pembantu sekalipun seperti menyetrika kostum para personel Warkop. Ini dilakukan Miing dengan serius, karena ia sadar disinilah pembelajaran profesionalitas sebuah kelompok lawak. Miing sempat ikut dalam kaset warkop dan film warkop, sebelum akhirnya membentuk kelompok lawak sendiri bersama Didin (saudaranya) dan Hadi Prabowo alias Unang yang diberi nama Bagito (alias Bagi Roto).
Filmografi
Kebanyakan film Warkop tidak dapat diedarkan secara internasional karena masalah pelanggaran hak cipta, yaitu digunakannya musik karya komponis Henry Mancini tanpa izin atau tanpa mencantumkan namanya dalam film.
Pembuatan dan peredaran film setahun dua kali diperuntukkan masa edar bioskop-bioskop utama di Indonesia dengan masa tayang awal bertepatan dengan libur Hari Raya Idul Fitri dan malam pergantian tahun.
Mana Tahaaan... (1979) bersama Elvy Sukaesih, Rahayu Effendi dan Kusno Sudjarwadi
Gengsi Dong (1980) bersama Camelia Malik, Zainal Abidin dan M. Pandji Anom
GeEr - Gede Rasa (1980) bersama Dorman Borisman, Ita Mustafa dan Itje Trisnawati
Pintar Pintar Bodoh (1980) bersama Eva Arnaz, Debby Cynthia Dewi dan Dorman Borisman
Manusia 6.000.000 Dollar (1981) bersama Eva Arnaz, Dorman Borisman dan A. Hamid Arief
IQ Jongkok (1981) bersama Enny Haryono, Marissa Haque, dan Bokir
Setan Kredit (1982) bersama Minati Atmanegara, Nasir dan Alicia Djohar
Dongkrak Antik (1982) bersama Meriam Bellina, Mat Solar dan Pietrajaya Burnama
Chips (1983) bersama Sherly Malinton, Tetty Liz Indriati dan M. Pandji Anom
Maju Kena Mundur Kena (1983) bersama Eva Arnaz, Lydia Kandou dan Us Us
Pokoknya Beres (1983) bersama Eva Arnaz, Lydia Kandou dan Us Us
Itu Bisa Diatur (1984) bersama Ira Wibowo, Lia Warokka dan Aminah Cendrakasih
Tahu Diri Dong (1984) bersama Eva Arnaz, Lydia Kandou dan Us Us.
Kesempatan Dalam Kesempitan (1985) bersama Lydia Kandou, Nena Rosier, Lia Warokka, Leily Sagita dan Kaharuddin Syah.
Gantian Dong (1985) bersama Ira Wibowo, Lia Warokka dan Advent Bangun
Sama Juga Bohong (1986) bersama Ayu Azhari, Nia Zulkarnaen, dan Chintami Atmanegara
Atas Boleh Bawah Boleh (1986) besama Eva Arnaz, Dian Nitami dan Wolly Sutinah
Depan Bisa Belakang Bisa (1987) bersama Eva Arnaz dan HIM Damsyik
Makin Lama Makin Asyik (1987) bersama Meriam Bellina, Susy Bolle dan Timbul
Saya Suka Kamu Punya (1987) bersama Doyok dan Didik Mangkuprojo
Jodoh Boleh Diatur (1988) bersama Raja Ema, Silvana Herman dan Nia Zulkarnaen
Malu-Malu Mau (1988) bersama Nurul Arifin, Suyadi dan Sherly Malinton
Godain Kita Dong (1989) bersama Lisa Patsy, Ida Kusumah dan Tarsan
Sabar Dulu Doong...! (1989) bersama Anna Shirley, Pak Tile dan Eva Arnaz
Mana Bisa Tahan (1990) bersama Nurul Arifin, Zainal Abidin dan Sally Marcellina
Lupa Aturan Main (1991) bersama Eva Arnaz, Fortunella dan Hengky Solaiman
Sudah Pasti Tahan (1991) bersama Nurul Arifin dan Sherly Malinton
Bisa Naik Bisa Turun (1992) bersama Kiki Fatmala, Fortunella, Fritz G. Schadt dan Gitty Srinita
Masuk Kena Keluar Kena (1992) bersama Kiki Fatmala, Fortunella dan Sally Marcellina
Salah Masuk (1992) bersama Fortunella, Gitty Srinita, Tarida Gloria dan Angel Ibrahim
Bagi-Bagi Dong (1993) bersama Kiki Fatmala dan Inneke Koesherawati
Bebas Aturan Main (1993) bersama Lella Anggraini, Gitty Srinita dan Diah Permatasari
Saya Duluan Dong (1994) bersama Diah Permatasari, Gitty Srinita dan HIM Damsyik
Pencet Sana Pencet Sini (1994) bersama Sally Marcellina, Pak Tile dan Taffana Dewi